Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/14

e-Reformed edisi 14 (31-3-2001)

Hamba Tuhan dan Khotbah

TUGAS YANG MENDESAK

Tugas apakah yang terpenting bagi seorang hamba Tuhan? Berdasarkan
pengalaman penulis selama 56 tahun, penulis mengambil kesimpulan bahwa
tugas yang terpenting dari seorang hamba Tuhan adalah menyampaikan
Firman (berkotbah). Jika seorang hamba Tuhan tidak menyampaikan Firman,
maka ia ibarat seekor kucing yang tidak mau menangkap tikus, seekor
anjing yang tidak mau menjaga pintu, sehingga ia kehilangan fungsi dan
tugasnya yang terpenting.


Dari pengamatan penulis selama puluhan tahun, penulis menemukan banyak
sekali hamba Tuhan yang hanya berkhotbah satu kali sebulan dalam
Kebaktian Hari Minggu di gerejanya dan jika sudah ditahbiskan menjadi
pendeta, maka akan ditambah dengan khotbah pendek sebelum Perjamuan
Kudus. Selebihnya selama tiga minggu gereja mengundang para dosen
teologia, pimpinan organisasi rohani, pendeta yang sudah pensiun atau
tamu yang kebetulan lewat untuk mengisi mimbar gereja. Gereja-gereja
yang demikian ini, secara umum pasti tidak mempunyai program tema khotbah
dan karena pengkhotbahnya terlalu sibuk maka ia selalu menyampaikan
khotbah yang sudah pernah disampaikan sehingga penyampaiannya tidak lagi
sesuai kebutuhan dan akibatnya anggota jemaat tentu tidak memperoleh
apa-apa dari khotbahnya.


Memang diakui bahwa menyiapkan naskah khotbah tidak mudah. Apalagi
naskah khotbah yang bisa mencukupi kebutuhan anggota jemaat, ini akan
jauh lebih sulit. Penulis ingin membagikan pengalaman masa lalu yang
cukup pahit. Pada waktu itu penulis memegang jabatan rangkap, disamping
menjadi pendeta gereja juga menjadi dosen di sekolah teologia. Tugas
"berkhotbah" penulis rasakan sebagai suatu beban yang berat. Jika
Minggu itu kebetulan ada pendeta lain yang sedang lewat dan dapat
diundang untuk berkhotbah, maka penulis merasa seperti baru saja
terlepas dari pikulan yang berat dan sepanjang minggu itu, khususnya
malam minggu, hati merasa ringan dan enak sekali.


Seorang hamba Tuhan yang dipanggil untuk menggembalakan, ia sebenarnya
bukan saja bertanggung-jawab terhadap Tuhan dan bertanggung-jawab
kepada gereja yang digembalakan tetapi ia juga bertanggung-jawab kepada
ribuan jiwa yang belum diselamatkan. Menurut hemat penulis, tugas
penting seorang hamba Tuhan dalam menggembalakan sidang adalah
"menyampaikan Firman" (berkhotbah).


Hamba Tuhan yang menjadi gembala lebih mengetahui kebutuhan dari
anggota jemaat dari pada pendeta tamu. Rasul Paulus menganggap
hubungannya dengan anggota jemaat adalah seperti hubungan seorang ibu
dengan anaknya. Ia pernah berkata kepada anggota jemaat di Tesalonika,
"Tapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu
mengasuh dan merawati anaknya" (1 Tes. 2:7). Tugas seorang ibu adalah
menyusui bayi, dan ia tidak akan mengizinkan ibu lain untuk
menggantikan tugasnya. Demikian juga, seorang hamba Tuhan yang
bertanggung-jawab, ia akan menganggap bahwa "berkhotbah" adalah tugas
yang mendesak, sehingga ia tidak akan dengan mudah dan sembarangan
menyerahkan tugas mimbar kepada orang lain. Ia akan secara sistematis,
berdasarkan kebenaran Alkitab dan sesuai dengan kebutuhan gereja dan
masyarakat, mengajar dan membina para anggota jemaatnya.


URGENSI KHOTBAH

Mantan pendeta yang telah melayani selama 30 tahun di Westminster
Chapel, Inggris, Dr. Martyn Lloyd-Jones, dalam bukunya yang berjudul "I
Believe in Preaching" mengatakan, "Menurut hematku, 'berkhotah' adalah
jabatan yang paling agung dan mulia dari semua jabatan yang ada. Jika
anda mau lebih mengetahui hal ini, maka aku tanpa ragu-ragu mengatakan
bahwa kebutuhan yang mendesak dari gereja-gereja Kristen adalah khotbah
yang benar dan sejati." Lebih lanjut ia mengatakan, "Pekerjaan
'penyampaian Firman' tidak dapat dibandingkan dengan pekerjaan apapun
yang lain. Berkhotbah adalah pekerjaan yang terbesar, yang patut
digandrungi, yang patut dipuji, yang patut dikerjakan dan pekerjaan
yang paling ajaib." Apakah pernyataan Dr. Lloyd-Jones ini berlebihan?
Jawaban penulis adalah, "Tidak!".


Dalam bukunya yang berjudul "History of Preaching, E. C. Dargon
mengatakan, "Berkhotbah adalah unsur dan ciri penting dari agama
Kristen." Lebih lanjut ia mengatakan bahwa "Khotbah" adalah ciptaan
dari agama Kristen. Mengapa demikian? Ia mengatakan, "Karena Pendiri
Agama Kristen adalah seorang 'Pengkhotbah'. Baik pendahuluNya, yaitu
Yohanes Pembaptis maupun penerusNya, yaitu para rasul, semuanya adalah
pengkhotbah yang menyampaikan Firman Allah. Sebab itu, khotbah yang
mengajar dan memproklamasikan Firman Tuhan, merupakan karakteristik
dasar yang tidak berubah dari agama Kristen."


Injil Matius 9:35, "Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan
desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil
Kerajaan sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan."


Dengan berdirinya gereja hasil Pentakosta, para rasul disibukkan dengan
urusan sosial, akhirnya mereka meminta pada anggota jemaat, agar mereka
dilepaskan dari tugas sosial, sehingga dapat mengkonsentrasikan diri
pada doa dan khotbah (Kis. 6:4).


Setelah itu, rasul Paulus yang dikenal sebagai rasulnya orang kafir,
juga berpendapat bahwa tugas "berkhotbah" itu sangat penting. Ia
mengatakan bahwa Kristus mengutusnya bukan untuk membaptis,
melainkan untuk mengabarkan Injil. Ia menekankan bahwa "berkotbah"
adalah model yang ditentukan Tuhan agar orang berdosa mendengar berita
Injil dan dapat diselamatkan. Paulus dengan nada tanya, berkata,
"Bagaimana mereka dapat berseru kepadaNya, jika mereka tidak percaya
kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka
tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia,
jika tidak ada yang memberitakanNya." (Rom. 10:14). Ia bersaksi di
dalam 2 Timotius 4:6, "Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan
sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat." Waktu menjelang
ajalnya, ia merasa perlu menyampaikan pesan terakhirnya kepada
Timotius. Apakah pesan terakhirnya itu? Tidak lain, yaitu:
"Beritakanlah Firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya...."
(2 Tim. 4:2)


Mari kita membaca sejarah dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh
orang yang dipakai Tuhan tentang urgensinya "khotbah".


Reformator Martin Luther mengatakan, "Keberadaan dan hidup gereja
adalah bersandarkan pada 'Firman' yang penuh berisi perjanjian Tuhan
dan karena "Firman' inilah gereja didirikan, dibina dan bertahan.
Lebih lanjut ia mengatakan, "Jiwa roh manusia, boleh tidak diisi oleh
apapun, tapi tidak bisa jika tidak diisi oleh 'Firman Tuhan'....
dengan adanya 'Firman Tuhan' ia menjadi kaya dan tidak kekurangan
apapun". Luther berpendapat bahwa "penyampaian Firman" tidak dapat
ditawar-tawar, karena dengan menyampaikan tentang Kristus, berarti
memberi makan pada jiwa roh manusia.


Yohanes Kalvin juga sangat menitik-beratkan Firman Tuhan. Ia menekankan
bahwa ciri gereja yang sejati adalah kesetiaannya dalam menyampaikan
Firman Tuhan. Ia mengatakan, "Di mana saja, asal Firman Tuhan dijaga
kemurniannya, lalu dikabarkan, diterima dan Perjamuan Kudus
dilaksanakan sesuai dengan yang diadakan oleh Tuhan, maka di sana pasti
gereja Tuhan itu eksis."


Pendiri gereja Methodis, John Wesley dalam buku hariannya menulis, "Aku
dilahirkan adalah untuk menyampaikan Firman Tuhan." Pada usia yang ke
86, ia pernah berkunjung ke Irlandia memimpin Kebaktian Kebangunan
Rohani. Ia menggunakan waktu selama sembilan minggu, mengunjungi 60
kota dan desa dan berkotbah sebanyak seratus kali dan enam kali
berkotbah di lapangan terbuka.


Meskipun kita tidak menyetujui pandangan teologia Karl Barth, tapi
kesaksiannya tentang penyampaian Firman Tuhan perlu kita dengar. Ia
mengatakan, "Semua orang mengakui bahwa tidak ada satu pekerjaan yang
lebih bernilai, lebih mendesak, lebih berguna, lebih bisa
menyelamatkan, lebih berfaedah dari pada menyampaikan dan mendengarkan
Firman Tuhan. Dari sudut langit dan bumi kita boleh melihat, tidak ada
perkara yang situasinya lebih praktis dari pada menyampaikan dan
mendengarkan Firman Tuhan."


Deitrich Benhoeffer meskipun pandangan teologianya dipermasalahkan,
tapi mempunyai pandangan yang baik tentang penyampaian Firman Tuhan.
Ia mengatakan "Keberadaan semua bahasa di dunia, dipakai untuk
menyampaikan Firman Tuhan. Dengan berkotbah telah diletakkan dasar
dunia baru. Melalui khotbah orang mendengarkan Firman Tuhan .....,
setiap hamba Tuhan harus berkeyakinan bahwa Kristus akan masuk ke dalam
setiap hati manusia melalui khotbah yang berlandaskan pada Alkitab."


KESUAMAN GEREJA DAN KHOTBAH

Mungkin banyak orang tidak menyetujui sebutan "kesuaman gereja" untuk
mengungkapkan keadaan gereja masa kini. Memang benar, secara lahiriah,
keadaan gereja sekarang menunjukkan kemajuan. Gereja-gereja di Amerika
ramai dikunjungi orang dan gejala seperti ini belum pernah terlihat
pada waktu-waktu sebelumnya. Dari segi kepadatan penduduk, Jamaika yang
berada di Amerika Latin Tengah adalah negara yang paling banyak gedung
gerejanya di seluruh dunia. Filipina adalah negara Katolik satu-satunya
di Asia yang boleh dikatakan di setiap rumah ada tanda salib dan gereja
setiap minggu dipenuhi dengan orang yang berbakti.


Tetapi jika diamati dengan seksama keadaan masyarakat Amerika, maka
jelas terlihat kejahatan, kerawanan di bidang keamanan, kemerosotan
moral dan kehancuran rumah tangga yang menjamur, menunjukkan
ketimpangan yang menyolok dengan keadaaan pertumbuhan gereja. Kejahatan
yang terjadi di Jamaika merupakan suatu pelecehan terhadap banyak
gedung gereja di sana. Demikian pula dengan keadaaan yang terjadi di
Filipina.


Pada abad ke-20 gereja dan jemaat di berbagai daerah Afrika dikabarkan
makin bertambah dan berkembang secara pesat. Tetapi Afrika, yang pada
abad ke 18 dikenal sebagai "tempat pemakaman para misionaris" yang
gelap ini, sampai saat ini tetap dinaungi oleh suasana kegelapan,
bahkan makin hari makin kelam. Banyak terjadi pembantaian etnis, sistem
politik yang bobrok, perekonomian yang memprihatinkan, kemiskinan yang
meluas, ditambah lagi dengan bencana alam dan sebagainya, sehingga
nyawa penduduk tidak terjamin. Peristiwa yang terjadi di Afrika,
menimbulkan suatu tanda tanya besar, berapa besarkah sebenarnya
pengaruh pertambahan gereja dan Injil bagi suasana yang "gelap" di
Afrika ini?


Penulis sudah melayani selama 56 tahun, sebagian besar hidup penulis
hanya mengerjakan satu hal, yaitu mengabarkan tentang Yesus Kristus.
Melalui pengalaman dan penyelidikan selama 56 tahun ini, secara jujur
dalam lubuk hati selalu timbul satu pertanyaan: pada abad yang
menggalakkan gerakan misi ini, seberapa besarkah pengaruh yang telah
diberikan oleh agama Kristen terhadap dunia ini? Kita sering melagukan
bahwa agama Kristen adalah satu-satunya yang menyediakan keselamatan
yang sejati, tapi sebenarnya berapakah diantara mereka yang ada di
dunia ini sudah mendengar tentang berita keselamatan?


Sepertinya unsur yang ditekankan oleh "Ilmu Pertumbuhan Gereja", adalah
"pertumbuhan" dari segi kwantitas di dalam gereja saja. Pimpinan gereja
sering bergembira dan puas dengan bertambahnya anggota tetapi terhadap
permintaan Tuhan Yesus agar anggota jemaat menjadi "garam dunia" dan
gereja menjadi "terang dunia", masih jauh dari kenyataan.


Tidak dapat disangkal bahwa gereja masa kini termasuk gereja yang
disebut Tuhan sebagai "Gereja Laodikia", yaitu gereja yang suam-suam.
Memang tidak salah jika gereja masa kini disebut 'tidak dingin', karena
seruan untuk mengerjakan pelayanan misi keluar begitu nyaring, tetapi
didalamnya tidak ada kehangatan dan kegairahan. Tata ibadah
dipersiapkan sedemikian baik, sehingga para pengunjung kebaktian merasa
keenakan; khotbah yang disampaikan dengan sebutan yang terbaik itu,
sering menjadi "irama yang membuaikan". Tetapi Tuhan mengatakan, "Aku
tahu segala pekerjaanmu; engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah
baiknya jika engkau dingin atau panas, jadi karena kamu suam-suam
kuku.... Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu." (Wahyu 3:15-16).


Tuhan menghendaki gereja menjadi "panas" dan cobalah kita bertanya pada
diri sendiri, "Apakah jiwa pelayanan kita "panas" (bergairah)? Apakah
pelayanan mimbar kita "panas"? apakah kehidupan doa kita, juga "panas"?
Apakah kita yang sering meninggikan "rasio", mencela "emosi" dan
"gerakan" ini bersikap "suam-suam kuku" dalam memimpin jemaat,
sehingga akhirnya menjadi orang dan gereja yang "dimuntahkan" Tuhan?


Menurut pendapat penulis, jika gereja mau memperoleh "kebangunan",
tidak ada jalan lain kecuali kembali ke hadirat Tuhan yang menunggu
"kebangunan" itu. Mencari kehendakNya, mentaati pimpinan Roh Kudus agar
Tuhan memakai alat yang membangunkan gereja selama dua ribu tahun ini,
yaitu: Khotbah!


Tuhan Yesus di dalam Matius 24:45 mengatakan, "Siapakah hamba yang
setia dan bijaksana, yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya
untuk memberikan mereka makan pada waktunya?" Siapakah yang dimaksud
hamba yang setia dan bijaksana itu? Mereka adalah hamba-hamba yang
memberi makan orang-orang pada waktunya! Untuk memberi "pada waktunya",
dibutuhkan "kesetiaan" sedangkan untuk memberi "makan", dibutuhkan
"kebijaksanaan". Jika dipakai istilah masa kini, maka yang dimaksudkan
memberi "makan" adalah "menyampaikan khotbah".


Dr. W. Sangster dalam bukunya yang berjudul "Skill Berkhotbah" tidak
mempunyai kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan keagungan pekerjaan
dari hamba Tuhan ini. Ia hanya menulis demikian, "Hamba Tuhan yang
dipanggil, adalah orang yang diutus untuk mengajarkan kebenaran; adalah
utusan dari Maha Raja adalah saksi dari Injil yang kekal! Adakah
pekerjaan yang lebih mulia dari pekerjaan ini? Allah Bapa mengutus
PutraNya adalah untuk mengerjakan pekerjan yang tidak ada bandingnya
ini." Pada akhir dari bukunya, ia mengungkapkan kesannya dengan
mengatakan, "Mengabarkan kabar baik tentang Yesus Kristus, adalah
persembahan aktivitas yang tertinggi yang bisa dilakukan seseorang.
Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang sangat dirindukan para malaekat,
bahkan penghulu malaekat akan rela meninggalkan kedudukan tinggi di
sorga, asal bisa mendapatkan pekerjaan ini."


Profesor Homiletik terkenal di Amerika, Dr. Andrew Blackwood
mengatakan, "Profesi sebagai pengkhotbah, seyogyanya ditempatkan
dijajaran yang tertinggi dari semua profesi yang ada." Berdasarkan
penelitian pendeta terkenal asal Inggris, Dr. John Stott, ditemukan
bahwa sejak tahun 60-an, secara umum kesan orang terhadap "khotbah"
semakin hari semakin merendah. Menurut pendapatnya "kemerosotan"
penilaian terhadap khotbah adalah suatu tanda dari kemerosotan gereja."


Pentingnya pengajaran "khotbah" yang dulu sering diabaikan oleh pihak
Katolik, sekarang sudah mendapat tempat yang penting. Teolog Karl
Rahner berpandangan bahwa hal yang urgen dan yang perlu diselesaikan
sekarang adalah "kesulitan dalam berkhotbah". Masalah yang sangat berat
yang sedang dihadapi gereja masa kini adalah ketidak serasian keyakinan
Kristen dengan dunia nyata, ia mengatakan, "Banyak orang meninggalkan
gereja, karena apa yang disampaikan melalui mimbar tidak berarti bagi
mereka, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan mereka. Banyak
masalah dan tekanan yang dialami dalam kehidupan tetapi tidak
dibicarakan dalam pelayanan mimbar; .... hal ini membawa problem yang
semakin besar dalam "khotbah".


Uskup Agung gereja Anglikan di Inggris, Donald Logen berusaha
menggalakkan pembaharuan dalam hal berkhotbah. Ia mengatakan, "Allah
mengerjakan satu hal yang mengherankan, yaitu: yang berdiri di antara
Allah Sang Pengampun dengan manusia yang berdosa adalah "pengkhotbah";
yang berdiri di antara Allah sebagai Pemberi dengan manusia sebagai
penerima adalah "Pengkhotbah; yang berdiri di antara Allah sebagai
Kebenaran dan manusia sebagai pencari Kebenaran adalah "pengkhotbah".
Sebab itu fungsi dari pengkhotbah adalah pekerjaan "menyatukan" antara
dosa manusia dengan pengampunan Allah, antara kebutuhan manusia dan
kemahakuasaan Allah, antara yang didambakan manusia dengan wahyu dari
Allah.


PEMBAHARUAN KHOTBAH

Kunci kebangunan gereja yang sebenarnya terletak pada kebangunan hamba
Tuhan itu sendiri, dan salah satu tanda kebangunan hamba Tuhan tersebut
adalah kesungguhannya, kehangatannnya dan kerajinan sikapnya dalam
menyampaikan Firman Tuhan. Yang dimaksudkan dengan "kesungguhan" adalah
sikapnya terhadap Tuhan; "kehangatan" adalah sikapnya terhadap orang
yang mendengarkan khotbahnya; "kerajinan" adalah sikapnya dalam
menyiapkan diri dalam khotbah.


KESUNGGUHAN - SIKAP TERHADAP TUHAN
	
Hamba Tuhan adalah orang yang berdiri antara Allah dan manusia, sebab
itu seyogyanya ia menunjukkan kesungguhan sikap di hadapan Allah. Jika
ia mengetahui bahwa dirinya adalah juru bicara Allah dan bertanggung-
jawab terhadap Allah, maka ia tidak akan berani bersikap melecehkan
tugas khotbah yang sangat kudus itu. Ia tentu saja juga tidak akan
berani menganggap "berkhotbah" sebagai satu "pekerjaan", sehingga
dirinya disebut "tukang khotbah" ... melainkan dengan sikap gentar
dan takut ia akan berkata kepada Tuhan, "Tuhan, mohon rahmatMu
untuk memakai dan memimpin saya, agar sebelum menyampaikan khotbah di
depan orang banyak, saya tahu bahwa terlebih dahulu saya akan
berkhotbah bagi diri sendiri. Dan saya lebih dulu akan memberi contoh
dengan melaksanakan kebenaran tersebut; biarlah keberadaan saya di
depan orang, bukan hanya menjadi "terompet" dari kebenaran itu,
melainkan menjadi fakta kebenaran itu sendiri.


Pendeta Amerika yang terkenal di abad ke 19, Dr. Philips Brooks
mengatakan, "Pengkhotbah adalah orang yang menyampaikan kebenaran
kepada khalayak ramai. Di dalamnya terdapat dua unsur, yaitu: kebenaran
dan karakter...... Pengkhotbah melalui karakternya menunjukkan
kebenaran.... Kebenaran itu sendiri adalah unsur yang tidak berubah,
tetapi karakter adalah unsur yang berubah dan bertumbuh."


Colin Morris mengatakan, "Berita yang mengandung kuasa, bukan
disampaikan melalui mimbar, melainkan melalui salib. Khotbah yang
berhasil, bukan hanya "didengar" tapi juga "dilihat". Jika hanya
mengandalkan "kefasihan lidah", "skill berkhotbah", "pengetahuan
Alkitab" hal itu belumlah cukup, karena masih perlu ditambah dengan
kesedihan yang sangat, penderitaan, pergumulan, keringat, darah,
sehingga bisa mengekspresikan kebenaran yang disampaikan. Hanya dengan
demikianlah baru kita bisa menaklukkan hati para pendengar.


KEHANGATAN - SIKAP TERHADAP PARA PENDENGAR
	
Abad ini dikenal dengan abad yang menitik-beratkan pada "rasio".
Banyak sekali cendekiawan dan pendeta besar berpendapat bahwa kita
hanya bisa menggunakan "rasio" untuk menaklukkan hati para pendengar
dan bukan dengan "emosi". Ada seorang pendeta yang bertemu dengan
seorang aktor dan bertanya, bagaimana bisa memainkan peran yang begitu
mengesankan dan menarik? Dimana letak rahasianya? Dan pendeta itu juga
mengemukakan bahwa dalam menyampaikan khotbah, ia tidak mempunyai
kekuatan seperti itu. Dengan tertawa aktor itu menjawabnya, "Peran yang
kami tampilkan bisa sedemikian menarik karena cerita fiktif itu telah
kami mainkan dengan sungguh-sungguh, sehingga cerita itu seperti
sungguh-sungguh terjadi. Tetapi tidak demikian dengan kalian yang
menyampaikan kebenaran yang sejati, anda menampilkannya dengan
sembrono, sehingga orang menerimanya seperti berita yang hanya
bohong-bohongan saja.


Siapa yang mengatakan bahwa dalam berkhotbah tidak diperlukan "emosi"?
Tuhan Yesus menangis untuk penduduk Yerusalem yang tidak mau bertobat
(Luk. 19:4). Paulus sangat marah terhadap orang Atena yang menyembah
kepada berhala; demi Allah yang benar, hatinya menjadi panas (Kis.
17:16). Ia sangat peduli terhadap kemuliaan Allah, sebab itu ia
memberitahukan orang di Filipi, "karena, seperti yang telah kerap kali
kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis,
banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus." (Flp. 3:18).
Paulus juga memberitahukan para penatua di Efesus, "Sebab itu,
berjaga-jagalah dan ingatlah bahwa aku tiga tahun lamanya, siang malam
dengan tiada berhenti-hentinya menasehati kamu masing-masing dengan
mencucurkan air mata." (Kis. 20:31).


Jangan mengira mempunyai perasaan demikian (mengucurkan air mata),
hanya berlaku pada masa Perjanjian Baru saja, karena kita juga harus
memilikinya pada masa kini. James Alexander mengatakan, "Hamba Tuhan
yang tidak memiliki perasaan yang demikian besar tidak akan bisa
menjadi hamba Tuhan yang besar pula."


Pada waktu berdiri di atas mimbar, hendaklah ingat bahwa kita sedang
mengurusi masalah antara hidup kekal dan mati kekal, dan kita berdiri
di antara orang yang hidup dan mati. Sebab itu, hendaklah kita
memandang penting pelayanan mimbar dan jauhkanlah sikap apatis dan
anggapan bahwa mimbar hanya sebagai sarana untuk berbicara saja.


Richard Baxter pernah mengutarakan kata-kata bagi dirinya sebagai
berikut: "Aku merasa heran terhadap diriku, bagaimana aku bisa
berkhotbah dengan sikap yang dingin tanpa perasaan dan bagaimana aku
bisa bersikap apatis terhadap mereka yang sedang berada di dalam
belenggu dosa? Seharusnya aku mendatangi mereka dan memohon dengan
sangat agar mereka demi kasih Tuhan bertobat.... Aku sering turun dari
mimbar dengan hati nurani yang tidak tenang, karena merasa khotbahku
tadi kurang sungguh-sungguh dan kurang semangat. Aku tidak
mempersalahkan diri karena kurang fasih dalam berkata-kata dan aku juga
tidak menyalahkan diri karena tidak menggunakan kata-kata yang tepat,
tapi aku sering bertanya pada diri sendiri, 'bagaimana kamu bisa
bersikap demikian di dalam menyampaikan masalah besar yang mempunyai
kaitan mati dan hidupnya manusia, bukankah seharusnya aku menangis untuk
mereka dan membiarkan air mataku menyela khotbahku? Bukankah seharusnya
aku berteriak dengan kesungguhan untuk mengatakan dosa dan kesalahan
mereka dan dengan sangat memohon seperti seorang yang sedang menghadapi
pilihan antara hidup dan mati?"


John Stott menganggap sikap yang penuh dengan kesungguhan sangat mudah
menarik hati dan perhatian orang. Dr. John R. Rice mengatakan, "Pada
waktu seorang hamba Tuhan berdiri di mimbar, menyampaikan tema yang
sangat penting dan serius tentang neraka dan api yang tanpa padam;
seharusnya ini menyebabkan ia bertelut di hadapan Tuhan dan bersikap
sungguh-sungguh dalam penyampaiannya. Tapi patut disesalkan, karena
banyak hamba Tuhan dalam menyampaikan tema yang penting dan serius ini
dengan sikap santai tanpa perasaaan. Berbicara panjang lebar tentang
teologi "nekara" tanpa bara api dalam hati dan air di mata. Gembala
Sidang di Inggris, Campbell Morgan mengatakan, tiga unsur khotbah
adalah: kebenaran, kejelasan dan emosi."


RAJIN - SIKAP MEREVISI KHOTBAH
	
Seorang hamba Tuhan yang bersikap sungguh-sungguh pada Tuhan dan hangat
pada para pendengarnya, pasti pula seorang hamba Tuhan yang rajin
untuk selalu merevisi bahan khotbahnya. Ia pasti rajin membaca Alkitab
dan berdoa, rajin pula menunggu berita dari hadirat Tuhan; rajin
membaca buku-buku rohani dan buku-buku lain yang bisa menambah
wawasannya; rajin berkunjung dan mengetahui secara jelas kebutuhan
rohani dari individu maupun keluarga anggota gereja; rajin mengumpulkan
bahan-bahan yang berkaitan dengan khotbahnya.


Dr. Harry E. Jesssop mengatakan, "Seorang hamba Tuhan yang tidak
putus-putusnya menuntut kemajuan, bisa menjaga hati yang bersifat
rohani dan sensitif akan memiliki otak yang terisi dengan pengetahuan
yang luas. Seorang hamba Tuhan yang sudah berusia pertengahan, yang
tidak lagi menuntut kemajuan, yang tidak lagi membaca buku-buku akan
mendatangkan malapetaka bagi gereja. Hamba Tuhan yang demikian ini,
bukan saja sering mengulang khotbah yang sudah disampaikan tapi juga
malas untuk mengubah dan menyempurnakan bahan khotbahnya. Hamba Tuhan
yang demikian ini, bukan saja kehilangan semangat untuk menyelamatkan
jiwa yang tersesat, bahkan semangat untuk berdoa bagi jiwa-jiwa yang
tersesat pun sudah tidak ada lagi.... Tidak ada hamba Tuhan yang
karena usia tua tidak lagi perlu berkhotbah. Jika ia benar-benar rajin
membaca, rajin berpikir, rajin berdoa, maka usianya yang tua bukan
menjadi penghalang tapi sebaliknya menjadi sumber berkat!"


Sumber:
Judul Buku    : Problematika Hamba Tuhan
Pengarang     : Rev. Yap Un Han, Th.M.
Penerbit      : Persekutuan Alumni Singapore Bible College, Jakarta
                 dan Yayasan Daud Family, Menado
Tahun         : 1998
Halaman       : 67 - 83

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org